Adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam konsep terintegrasi sudah menjadi suatu kebutuhan bagi perusahaan maupun organisasi yang ingin mendapatkan competitive advantages. Adopsi TIK terintegrasi harus dilakukan oleh perusahaan maupun organisasi akibat adanya revolusi dalam cara berbisnis sebagai akibat perkembangan TIK yang sangat luar biasa, yang menyebabkan perubahan yang luar biasa cepat pada hampir semua sektor bisnis (Hidayat dkk., 2003).
Perubahan yang terjadi bersifat mendasar karena dituntut oleh adanya pemenuhan kebutuhan dan bersifat global. Perubahan yang bersifat dasar, secara alami membuat lingkungan di sekitarnya mau tidak mau harus ikut berubah. Kecepatan perkembangan TIK, selalu memaksa orang untuk menyelaraskan ilmu yang dimiliki dengan kemajuan TIK. Bagi sebagian orang yang bisa mengikuti dinilai sangat positif, tapi bagi sebagian lagi akan sangat menyulitkan (Chen, 2011), dan dinilai sangat mengganggu kenyamanan dan dapat menyebabkan munculnya resistensi dalam badan organisasi.
Dampak lebih jauh lagi akibat adanya resistensi adalah kegagalan dalam adopsi TIK itu sendiri dan dapat merusak keharmonisan organisasi. Kesulitan pengguna bertambah ketika TIK yang dikembangkan berupa sistem yang tidak terintegrasi dengan baik, berupa aplikasi-aplikasi yang terpisah-terpisah, meskipun tujuan akhirnya sama, misalnya berupa laporan yang merupakan rekapitulasi dari hasil aplikasi-aplikasi yang terpisah tersebut.
Kesulitan yang dirasakan oleh pengguna antara lain: pengguna harus mempelajari bermacam-macam aplikasi sementara kemampuan untuk belajar lambat atau bahkan tidak mempunyai motivasi untuk mempelajari hal-hal baru; dan tidak jarang pengguna harus melakukan re-entry data karena antar aplikasi tidak terhubung dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Kesulitan tersebut menyebabkan timbulnya penolakan terhadap adopsi TIK.
TIK sendiri dalam arti luas tidak hanya mencakup perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) (Hamburger dkk., 2011), tetapi termasuk di dalamnya adalah sumber daya manusia (brainware). Kesuksesan implementasi maupun adopsi teknologi baru terutama TIK pada sebuah organisasi sangat ditentukan oleh faktor kesiapan brainware (Sheu dan Kim, 2008), dalam hal ini adalah pengguna TIK tersebut baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor teknis seperti hardware dan software bukanlah faktor yang sulit untuk diselesaikan, hardware dan software jika tidak sesuai dan perform bisa langsung diganti dengan mudah, diperbaiki maupun dilakukan pengadaan.
Akan tetapi, masalah brainware adalah masalah yang luar biasa kompleks, masing-masing orang sudah membawa mental map masing-masing, sehingga tidak jarang saling bersinggungan bahkan bertentangan. Kompleksitas brainware seringkali menjadi penyebab gagalnya proyek TIK, merujuk Ethie dan Madsen dalam Amaranti (2006), adanya keengganan dan penolakan dari pengguna dan ketidakmampuan perusahaanperusahaan untuk menentukan perubahan pada desain dan struktur organisasi sesuai dengan manfaat teknologi yang dipilih menyebabkan tidak diperolehnya manfaat dan keuntungan dari adopsi teknologi tersebut.
Alasan teknologi yang diadopsi tidak memberikan manfaat dan keuntungan, menyebabkan adopsi teknologi menjadi siasia dan bisa dikatakan telah gagal. Brainware dalam kapasitasnya sebagai pengguna, dalam banyak penelitian telah disebutkan sebagai salah satu kunci sukses dalam adopsi TIK (Amaranti, 2006; Bhatti, 2005; Rotchanakitumnuai dan Siriluck, 2010; Wijayanti, 2008). Pentingnya peran kesiapan brainware dalam menjamin kesuksesan adopsi sebuah teknologi baru, menjadi perlu untuk diteliti dalam proses adopsi sebuah teknologi baru, tidak terkecuali TIK.
Tingginya kegagalan implementasi Sistem Informasi (SI) menurut Shafaei dan Dabiri (2008) karena implementasi SI adalah proses yang sangat kompleks, tidak hanya pembaharuan dalam banyak aspek yang berbeda yang membutuhkan pertimbangan pada saat yang sama tetapi juga karena dampak dari sistem baru terhadap organisasi.
Sementara, Ptak dan Schragenheim (2004) berpendapat bahwa salah satu alasan kegagalan implementasi SI adalah kurangnya kesiapan organisasi dalam hal kedewasaan proses bisnis, aspek budaya, teknologi dan organisasi sehingga menyebabkan proses implementasi SI memakan waktu lebih lama dari yang direncanakan dan menyebabkan tim implementasi SI kehilangan semangat.
Pendapat Ptak dan Schragenheim (2004) tersebut sejalan dengan hasil penelitian Sheu dan Kim (2008), dalam penelitian yang melibatkan 50 organisasi sebagai obyek penelitian menyatakan bahwa tingkat kesiapan yang rendah menjadi sebab kegagalan proyek SI, khususnya kesiapan pengguna yang paling dominan berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi SI.
Penelitian Sheu dan Kim menunjukkan bahwa faktor kesiapan pengguna lebih kuat pengaruhnya terhadap keberhasilan proyek SI dibandingkan dengan keterlibatan pengguna dalam proyek SI. Penelitian Sheu dan Kim (2008), tidak menyebutkan bagaimana cara melakukan evaluasi dan pengukuran terhadap kesiapan pengguna pada 50 organisasi yang diteliti, sehingga tidak diketahui metode yang digunakan untuk melakukan evaluasi dan pengukuran tingkat kesiapan pengguna dengan jelas.
Shafaei dan Dabiri (2008), meneliti kesiapan organisasi dalam implementasi ERP yang merupakan salah satu produk TIK. Kedua peneliti tersebut mengembangkan framework untuk melakukan evaluasi dan pengukuran tingkat kesiapan implementasi ERP dengan menggunakan pendekatan Model European Foundation for Quality Management (EFQM), EFQM Excellence Model, yaitu sebuah framework manajemen untuk mengukur dan menilai tingkat efektivitas dari besar-kecilnya fungsi-fungsi kerja, sektor, struktur dan tingkat kematangan organisasional kerja (Hidayat, 2007), dikembangkan oleh EFQM.
Model EFQM dikembangkan untuk membantu organisasi dalam usaha memenangkan persaingan. Shafaei dan Dabiri (2008), melakukan pengukuran kesiapan organisasi dengan merelasikan Critical Success Factors (CSF) yang mempunyai dampak signifikan terhadap keberhasilan dalam implementasi ERP, direlasikan dengan kriteria-kriteria dalam Model EFQM. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa kriteria enabler dalam Model EFQM berelasi secara signifikan dan dapat digunakan untuk melakukan evaluasi kesiapan organisasi dalam implementasi sistem ERP.
Adopsi TIK menurut Totolo (2005), membutuhkan tingkat kesiapan yang memadai, karena banyak hal baru yang harus dipelajari dan banyak perubahan/penyesuaian yang harus dilakukan. Sementara, perubahan dan penyesuaian seringkali menghilangkan kenyamanan bagi pengguna dan seringkali TIK bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari. Tingkat kesiapan pengguna dibutuhkan lebih tinggi dalam kasus adopsi TIK ketika TIK yang diimplementasikan tidak terintegrasi dengan baik, tetapi berupa aplikasi-aplikasi yang terpisah-pisah.
Merujuk Pangaribuan (2008), desain TIK yang tidak terintegrasi membutuhkan tenaga extra dalam hal pengelolaan sistem itu sendiri, data, dan hasil dari keseluruhan sistem jika dibutuhkan sebuah laporan yang merupakan rekapitulasi hasil dari masingmasing sistem yang terpisah tersebut. Indrajit (2006), menyatakan bahwa permasalahan rumit yang sering dijumpai para praktisi TIK adalah ketika menghadapi tantangan pengintegrasian SI yang berbeda.
Permasalahan yang dihadapi tidak saja masalah teknis, namun lebih kental nuasa non-teknis yang biasanya didominasi oleh isu ego sektoral pada masing-masing institusi yang terlibat.
Adopsi Teknologi Informasi dan Komunikasi TIK sebagai teknologi yang dapat digunakan sebagai competitive weapon untuk mendapatkan competitive advantages dalam memenangkan persaingan terbukti dapat mempengaruhi hingga level korporat dalam menentukan arah bisnisnya. Akan tetapi, apakah TIK selalu menjadi solusi dalam permasalahan bisnis ? Kenyataan yang ada berdasarkan data yang disajikan oleh The Standish Group (2009), bahwa proyek TIK yang berhasil hanya sebesar 32%, pada level enterprise di Indonesia proyek yang terhitung sukses hanya sebesar 16,67% (Dantes dan Hasibuan, 2011), selebihnya dinilai gagal karena alasan biaya melebihi anggaran, waktu penyelesaian melebihi rencana dan manfaat yang diperoleh tidak seperti yang direncanakan dan bahkan gagal total.
Kegagalan tersebut terjadi di antaranya karena munculnya resistensi, dan tingkat kesiapan brainware yang buruk. Permasalahan resistensi sering muncul dalam proses adopsi TIK, di antaranya karena TIK dianggap dapat mengganti atau menggusur pekerjaan seseorang, rasa malas untuk mempelajari teknologi baru, skill dan knowledge yang tidak cukup untuk mengoperasikan sistem, menganggap training hanya media untuk menghabiskan jam kantor, munculnya banyak komplain dan permintaan dari pengguna sementara staff/sumber daya manusia (SDM) TI yang ada terbatas.
Ironi adopsi TIK di Indonesia adalah hal yang sangat wajar karena hanya 10% penduduk yang melek TIK dari total penduduk Indonesia (Luthfi, 2012). Melihat kondisi seperti ini, sebuah organisasi perlu merencanakan sebaik mungkin apabila akan mengadopsi TIK dan perlu mengetahui tingkat kesiapan pengguna TIK yang akan diadopsi, agar dalam proses adopsi tidak muncul resistensi.
Technology Readiness (TR) dan Technology Readiness Index (TRI) Parasuraman (2000) mendefinisikan technology readiness (TR) sebagai “people’s propensity to embrace and use new technology for accomplishing goal in home life and at work”, sedang TRI merupakan indeks untuk mengukur kesiapan pengguna terhadap teknologi baru. TRI menggunakan serangkaian pernyataan kepercayaan/keyakinan dalam melakukan survei untuk mengukur secara menyeluruh tingkat kesiapan teknologi dari individu, dan merupakan alat dalam studi adopsi teknologi.
Merujuk Parasuraman (2000), TRI digunakan untuk mengukur kesiapan pengguna dalam menggunakan teknologi baru dengan indikator empat variabel kepribadian yaitu:
- optimism (optimisme), sikap pandang positif terhadap teknologi dan percaya bahwa teknologi akan meningkatkan kontrol, fleksibilitas, dan efisiensi dalam kehidupan;
- innovativeness (inovasi), sikap tendensi untuk yang pertama menggunakan produk maupun layanan teknologi baru;
- discomfort (ketidaknyamanan), memiliki sikap sulit mengontrol dan cenderung kewalahan/tidak percaya diri ketika berhadapan dengan teknologi baru; dan
- insecurity (ketidakamanan), memiliki kecurigaan terhadap keamaanan teknologi dan alasan keamanan data pribadi.
Optimisme dan inovasi merupakan kontributor dan variabel eksogen/bebas yang dapat meningkatkan kesiapan seseorang, sementara ketidaknyamanan dan ketidakamanan merupakan inhibitor dan variabel eksogen/bebas yang dapat menekan tingkat kesiapan seseorang.
Kesiapan seseorang dalam penelitian ini adalah sebagai variabel endogen/terikat. Jadi seseorang yang optimis dan berinovasi, serta memiliki sedikit rasa tidak nyaman dan tidak aman akan lebih siap menggunakan teknologi baru (Parasuraman, 2000). Pengukuran TR didasarkan pada persepsi pengguna terhadap indikator-indikator dari variabel-variabel kepribadian pembentuk TR (optimisme, inovasi, ketidaknyamanan dan ketidakamanan) yang berpengaruh secara signifikan terhadap TR tersebut.
Berdasar tingkat TR pengguna TIK dapat dikategorikan menjadi 5 kategori (Parasuraman, 2000; Rose dan Fogarty, 2010). Pengguna TIK dengan tingkat optimisme dan inovasi yang tinggi masuk dalam kategori Explorer atau Pioneer. Explorer merupakan individu-individu yang memiliki motivasi dan rasa percaya diri yang paling tinggi dibanding kategori yang lain terhadap kemampuannya dalam menggunakan teknologi, masih berusia muda, umumnya laki-laki, memiliki penghasilan dan pendidikan yang lebih tinggi.
Kategori yang kedua adalah Pioneer, merupakan individu-individu yang memiliki tingkat optimisme dan inovasi di atas rata-rata, tetapi memiliki sedikit resistensi terhadap teknologi. Pioneer memiliki tingkat penghasilan dan pendidikan ratarata, berusia muda dan biasanya perempuan.
Pengguna TIK dengan tingkat ketidaknyamanan dan ketidakamanan yang tinggi masuk dalam kategori Paranoid atau Laggard (lamban/gagap teknologi). Individu yang masuk dalam kategori Paranoid, percaya pada teknologi dan optimis tetapi tidak memiliki kecenderungan untuk berinovasi, berusia di atas rata-rata dengan penghasilan dan pendidikan lebih rendah, dan umumnya perempuan.
Individu yang masuk dalam kategori Laggard (lamban/gagap teknologi) merupakan individu-individu yang sudah berusia tua, biasanya perempuan dengan tingkat penghasilan dan pendidikan yang rendah. Kategori yang terakhir adalah Skeptic merupakan kategori yang berada di tengah di antara 5 kategori berdasar tingkat TR yang ada. Individu yang masuk dalam kategori ini tidak melawan teknologi, mereka hanya kurang antusias, dan cenderung tidak percaya bahwa teknologi menawarkan lebih banyak kontrol atas hidup mereka.
|| Bandar Online MBO128 Agen Satu Akun semua jenis Game ||
ReplyDeleteGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128